ABSTRACT
The Sumbanese traditional house is one of the traditional architecture in Indonesia which is derived from Austronesian culture and have several characteristics such as stage house, wooden or bamboo house, and high-pitched roof. The Sumbanese traditional house is indeed inevitable from globalization and the impact of it has been seen as the phenomenon of visual or physical changes of the house and non-physical changes. Based on these issues, the aims are to acquire the representation and the concept of Sumbanese traditional house (case study in Kampung Tarung, Waikabubak, West Sumba). The research method of this study is qualitative descriptive with phenomenology paradigm and naturalistic approach. To results has obtained the concept of Ka'bani - Mawinne that clarifying the essence of Sumbanese traditional house in Tarung village as the ‘pemali’ house or sacred house. It is inseparable from the ancestral spirits or Merapu to conduct the spatial pattern in the house and dividesspace horizontally into male area (right) and female area (left). Meanwhile vertically divides space also into male area on the upper part (Uma Dana) and female area on the middle and lower part (Taronga Uma and Sala Kabounga).
ABSTRAK
Arsitektur rumah tradisional Sumba merupakan salah satu kekayaan arsitektur Indonesia yang berasal dari kebudayaan rumpun Austronesia dengan karakteristik berupa rumah panggung, menggunakan material kayu atau bambu, dan bentuk atap yang cenderung menjulang tinggi. Keberadaan arsitektur rumah tradisional Sumba tidak dapat dihindari dari adanya isu globalisasi dan dampaknya dapat terlihat di perubahan visual atau fisik rumah dan perubahan non fisik. Berdasarkan permasalahan tersebut penelitian ini bertujuan untuk mendapatkan gambaran dan rumusan konsep serta prinsip arsitektur rumah tradisional Sumba (studi kasus di Kampung Tarung, Waikabubak, Sumba Barat). Penelitian ini menggunakan metode deskriptif kualitatif dengan paradigma fenomenologi dan pendekatan naturalistik. Hasilnya diperoleh konsep Ka'bani - Mawinne yang memperjelas esensi rumah tradisional Sumba di Kampung Tarung yaitu sebagai rumah ‘pemali’ atau rumah sakral yang tidak bisa lepas dari keberadaan jiwa-jiwa leluhur atau Merapu yang mengatur pola keruangan dalam rumah tradisional Sumba secara horizontal menjadi domain pria (ka’bani) di sebalah kiri dan wanita di sebelah kanan (mawinne). Sementara secara vertikal pemisahan juga dibagi menjadi domain pria di bagian atas rumah (uma dana) dan domain wanita di bagian bawah rumah (taronga uma dan sala kabunga).
PENDAHULUAN
Latar Belakang
Arsitektur rumah tradisional Sumba sebagai salah satu dari keragaman arsitektur Indonesia, rentan mengalami perubahan fisik maupun non-fisik akibat pengaruh isu globalisasi dan modernisasi. Dampak perubahan fisik dapat dilihat di sebagian besar kampung-kampung adat di Waikabubak, yang terdapat di penutup atap dan elemen struktur bangunan yang lazimnya menggunakan material alam seperti kayu dan bambu, beralih menggunakan material-material baru seperti seng, semen, maupun beton. Sementara perubahan non-fisik dapat dilihat dari pergeseran fungsi dan nilai dibalik sifat keruangan dalam bangunan khususnya ruang Mata Merapu yang tidak lagi bersifat sakral akibat pengaruh masuknya agama ‘resmi’ (Protestan dan Katolik)sehingga ruang yang sebelumnya tidak boleh dimasuki oleh pria yang tidak berpangkat Rato dan bahkan para wanita. Berdasarkan fenomena dan kelemahan tersebut maka perlu dilakukan penelitian tentang arsitektur rumah tradisional Sumba yakni kampung Tarung. Kampung Tarung merupakan suatu kampung yang masih asli ditinjau dari segi fisik arsitektur rumah tradisional, fungsi dan sifat keruangan, makam megalitik, pola kampung, serta kebudayaan maupun kepercayaan Merapu yang masih dipegang teguh oleh warga kampung Tarung.
Karakteristik umum arsitektur rumah tradisional Sumba pada dasarnya memiliki bentuk yang sama dengan arsitektur rumah tradisional dari rumpun Austronesia yaitu berupa rumah panggung. Rumah tradisional Sumba menggunakan material-material alam, dan bentuk atap yang cenderung menjulang tinggi (atap menara). Kosmologi rumah tradisional Sumba membagi rumah secara vertikal menjadi tiga bagian besar ‘atas – tengah – bawah’. Bagian atas sebagai tempat tinggal para leluhur, bagian tengah sebagai tempat tinggal penghuni, dan bagian bawah sebagai tempat memelihara hewan ternak. Dari segi keruangan secara horizontal, pola spasial dalam rumah tradisional Sumba terbagi menjadi ‘pria – wanita’, ‘publik – privat’ dan ‘sakral – profan’, dan perapian berada di tengah rumah. Demikian pula dengan tata massa dalam skala meso (kampung), rumah tradisional Sumba berorientasi pada makam-makam megalitik yang terletak di tengah kampung. Morfologi bentuk, pola spasial, dan pola kampung tersebut banyak dipengaruhi oleh budaya, pemahaman masyarakat lokal, kosmologi, dan terlebih sistem kepercayaan animisme setempat yang masih diyakini oleh masyarakat Sumba, yaitu kepercayaan Merapu.
Penelitian tentang budaya, sosial, maupun antropologi di pulau Sumba telah banyak dilakukan, seperti penelitian yang dilakukan oleh Rothe (2004) dan Riti (2015) berfokus pada upacara adat Wulla Poddu dan kepercayaan Merapu, namun penelitian terkait arsitektur rumah tradisional Sumba khususnya di kampung Tarung, Waikabubak, Sumba Barat masih sangat terbatas. Penelitian yang dilakukan oleh Nurdiah (2013) yang berjudul Struktur Rangka Atap Rumah Tradisional Sumba, berfokus pada menganalisis sistem rangka atap rumah adat Sumba di kampung Tarung dan kampung Ratenggaro. Sementara penelitian yang dilakukan oleh Purwati (2013) yang berjudul Identifikasi Pola Peruangan Rumah Adat di Loura, Sumba Barat Daya, Nusa Tenggara Timur, berfokus pada mengidentifikasi pola peruangan, tatanan pelingkup ruang, dan penampilan bentuk pada bangunan adat yang masih asli dan yang sudah mengalami perubahan pada bangunan adat di Loura. Penelitian lain dilakukan oleh Hariyanto, dkk (2012) dengan judul Hubungan Ruang, Bentuk, dan Makna pada Arsitektur Tradisional Sumba Barat berfokus pada hubungan ruang, bentuk dan pengaruh kosmologi terhadap wujud rumah tradisional Sumba di kampung Tarung dan kampung Ratenggaro namun belum secara detail mengidentifikasi dan merumuskan konsep arsitektur rumah tradisional Sumba di kampung Tarung.
Perumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang tersebut diatas dapat dirumuskan masalah bahwa eksistensi rumah adat kampung Tarung mengalami degradasi kondisi fisik dan nilai kultural.
Pertanyaan Penelitian
1) Seperti apa arsitektur rumah tradisional Sumba di Kampung Tarung, Sumba Barat?; dan 2) Bagaimana konsep dan prinsip arsitektur rumah tradisional Sumba di Kampung Tarung, Sumba Barat?
Tujuan Penelitian
Tujuan penelitian:
1) mendapatkan gambaran arsitektur rumah tradisional Sumbadi kampung Tarung, Sumba Barat, dan
2) mendapatkan rumusan konsep dan prinsip arsitektur rumah tradisional Sumba di Kampung Tarung, Sumba Barat?
METODE
Penelitian ini menggunakan paradigma fenomenologi dengan pendekatan naturalistik dan metode induktif kualitatif. Paradigma fenomenologi adalah pendekatan yang mengamati fenomena yang terjadi dalam kehidupan manusia, dimana peneliti berusaha masuk ke dalam dunia subjek yang diteliti sedemikian rupa (Jailani, 2013 : 44). Sejalan dengan dengan Creswell dan Husserl, penelitian fenomenologi mencoba menccari pemaknaan empiri dibalik fenomena khas yang ada dengan pendekatan naturalistik. Penggunaan metode kualitatif dipilih karena lebih mampu untuk memahami fenomena tentang apa yang dialami oleh subjek peneliti. Analisis data dilakukan secara induktif yang berawal dari hal umum sampai ke khusus dengan beberapa alasan bahwa penelitian secara induktif lebih dapat menemukan banyak kenyataan dalam data.
Lokasi dan Objek Penelitian
Lokasi penelitian berada di kampung Tarung, Kecamatan Loli, Sumba Barat. Kamoung Tarung terletak di atas bukit dan berada di pusat kota Waikabubak yang berbaur dengan perkantoran, sekolah, dan rumah-rumah penduduk pribumi maupun pendatang. Objek penelitian ini adalah arsitektur rumah tradisional di kampung Tarung dan kepercayaan Merapu menjadi salah satu bagian dari terwujudnya arsitektur rumah tradisional Sumba.
Gambar 1: Peta pulau Sumba dan Kota Waikabubak, Sumba Barat (Sumber: Kusuma, 2017, hal. 47) |
Gambar 2: Lokasi kampung Tarung di kota Waikabubak, Sumba Barat
Unit Amatan dan Unit Analisis
Unit amatan mengambil dua kasus bangunan dari 12 rumah utama (tubba)dan anak-anak rumah (ana uma) lainnya di Kampung Tarung. Dua rumah utama tersebut adalah dua rumah utama yang mewakili kehomogenitasan rumah-rumah lainnya dengan pertimbangan sebagai berikut:
1) dua rumah utama merupakan rumah pertama yang dibangun di kampung Tarung,
2) Fisik bangunan masih asli dengan material alam dan belum ada perubahan maupun campuran material lain,
3) dua rumah utama terletak di depan natara, dan
4) dua rumah utama mewakili dua suku yang berbeda di kampung Tarung yaitu suku We’e Lowo (Uma Rato) dan suku Anawara (Uma Jaga Wogu).
Sementara unit analisis penelitian terdiri dari dua aspek yaitu:
1) aspek fisik atau bersifat tangible dan
2) aspek non fisik atau bersifat intangible.
Arsitektur Rumah Tradisional Sumba
Terdapat tiga jenis rumah sumba di daerah Kodi; 1) rumah utama warisan dari leluhur kepada anak pertama (uma katakunata), 2) anak rumah (kare ka tena) yang masih berada di satu kampung, dan 3) rumah kebun yang terletak di luar kampung (Adams, 2004:19). Rumah adat Sumba secara vertikal terbagi menjadi tiga bagian besar; 1) bagian atas rumah (menara) sebagai tempat tinggal Merapu yang berwujud benda pusaka dan dianggap benda keramat, 2) bagian tengah rumah tempat tinggal penghuni rumah, dan 3) bagian bawah rumah sebagai tempat memelihara ternak (Mross, 2000: 262). Pembagian ruang secara horizontal pada rumah adat Sumba Barat terbagi menjadi depan-tengah-belakang dan kanan-kiri. Selain itu, menurut Mross (2000 dalam Hariyanto, dkk,2012:14), pembagian ruang juga dipisahkan berdasarkan ruang pria-wanita (male-female) dan formal – informal.
HASIL PENELITIAN dan PEMBAHASAN
Gambaran Umum Wilayah Kampung Tarung
Kampung Tarung berada di atas bukit kecil dengan ketinggian sekitar 75 meter di atas permukaan daratan kota Waikabubak dan 700 meter dari permukaan laut. Mengingat Kampung Tarung juga merupakan kampung untuk konsumsi pariwisata, maka sebagai salah satu bentuk pelestarian budaya, pemerintah memberikan bantuan berupa aliran listrik dan air bersih. Jumlah penduduk Kampung Tarung tahun 2015 berjumlah 208 jiwa dengan pria 104 jiwa dan wanita 104 jiwa, yang terdiri dari 37 kepala keluarga. Mata pencaharian utama warga kampung Tarung adalah petani (99%) dan PNS (1%). Sementara para wanita sebagian besar merupakan ibu rumah tangga dan terdapat hanya 1 orang wanita yang bekerja lepas sebagai pemandu wisata.Jaringan jalan di Kampung Tarung terdiri dari tiga kondisi: 1) jalan aspal untuk jalan utama dari pusat kota menuju kampung dan keluar kampung, 2) perkerasan berupa batu-batu sebagai penghubung antar kampung Tarung dengan Kampung Waitabar dan juga mengelilingi makam dan natara, dan 3) jalan tanah yang sempit penghubung rumah-rumah utama dengan anak-anak rumah.
Tinjauan Terhadap Kehidupan Sosial di Kampung Tarung
Setiap satu keluarga di kampung Tarung dipimpin oleh seorang imam yang dikenal dengan sebutan Rato. Sementara kepala suku atau imam dari satu kelompok orang Sumba disebut dengan Rato Rumata, merupakan gelar tertinggi yang diberikan kepada Ratodan hanya orang-orang tertentu yang dapat menyandang gelar ini.Mayoritaswarga kampung Tarung masih memegang teguh kepercayaan Merapu, sebab bagi mereka keberadaan Merapu telah mengganti peran Tuhan dalam kehidupan warga Kampung Tarung. Pemahaman bahwa keberadaan Tuhan terletak jauh diatas sana menjadikan Merapu memegang peran sebagai penghubung antara manusia dengan Tuhan. Sebagai bentuk penghormatan kepada Merapu, di setiap upacara adat penganut kepercayaan Merapu diwajibkan menyediakan benda-benda persembahan atau dikenal dengan istilah sesaji (sirih, pinang, padi, kain, dan lain-lain) dan hewan-hewan kurban (kerbau, babi, anjing, dan ayam).
Analisis Aspek Fisik Rumah Tradisional Sumba di Kampung Tarung
Analisis hasil penelitian lapangan dilakukan dengan merumuskan dan mendeskripsikan tema-tema yang terbangun di Kampung Tarung, Sumba Barat. Tahap penyusunan tema adalah dengan melihat apa yang ada di balik fenomena yang kasat mata. Tema-tema tersebut dirumuskan berdasar 21 unit informasi yang telah disusun sebelumnya, yang dikategorisasikan menjadi 3 unit analisis, dapat dilihat pada tabel dibawah ini.
Telaah yang dilakukan terhadap21 unit informasi tersebut telah menghasilkan tujuh tema yaitu:
1) Kediaman jiwa-jiwa leluhur. Labbe sebagai tempat tinggal dan tempat melaksanakan tugas-tugas mereka untuk melihat dan melindungi penghuni rumah. Ruang Mata Merapu sebagai tempat berdiskusi antara Rato dengan jiwa-jiwa leluhur dan tempat menyampaikan doa-doa kepada Sang Pencipta yang hanya boleh dilakukan oleh Rato.
Gambar 4: Labbe dan ruang Mata Merapu sebagai kediaman jiwa-jiwa leluhur (Sumber: Kusuma, 2017, Hal. 100) |
2) Posisi elemen bangunan penyampai doa. Tahap penyampaian doa dimulai dari 1) tiang Lapale, 2) tiang Masela, 3) ruang Mata Merapu, 4) karaga duka, 5) labbe, 6) uma dana, dan 7) kado uma. Keseluruhan elemen-elemen penyampai doa membentuk suatu pola yang menyerupai tangga yang dipercaya dan diyakini oleh penganut kepercayaan Merapu dapat menyampaikan doa-doa mereka kepada Sang Pencipta dengan bantuan para leluhur.
Gambar 5: Letak elemen-elemen penyampai doa (Sumber: Kusuma, 2017, hal. 107) |
3) Rumah ibarat anatomi tubuh manusia. merupakan perumpaan sebuah rumah beserta seluruh elemen-elemennya sebagai anatomi bentuk tubuh manusia. Mulai dari bagian bawah yaitu kaki yang dilambangkan dengan tiang-tiang penopang rumah (pari’i patienga ngaingo dan pari’i rippi), bagian tengah yaitu badan manusia beserta jantung dan rahim yang dilambangkan dengan parapige dan lekki, hingga bagian atas rumah yaitu kepala yang dilambangkan dengan uma dana. Konstruksi sambungan antar elemen-elemennya yang berupa uwe dan kasikara juga diumpamakan sebagai urat manusia.
Gambar 6: Uwe dan kasikara (Sumber: Kusuma, 2017, Hal. 88) |
4) Prinsip gender pada kehidupan sosial. Peran pria sebagai manusia terpilih yang dianugerahi kemampuan khusus, mendominasi di setiap upacara-upacara adat suku We’e Lowo dan Anawara. Fenomena tersebut menjadi hal yang lazim sebab pada hakikatnya pria yang berkemampuan khusus itulah yang berperan aktif mempersatukan warga kampung Tarung yang masih hidup dengan arwah anggota keluarga yang sudah meninggal dunia.
5) Peran tiap rumah pada masa Wulla Poddu. Pada masa Wulla Poddu 12 Tubba diwajibkan berpartisipasi dalam menyambut datangnya bulan suci Merapu. Peran-peran tersebut dapat dilihat pada tabel 2.
6) Pelataran ruang sakral untuk upacara adat. Unsur tata masa dalam pola kampung Tarung memiliki kerakteristik pola kompak memanjang yang berorientasi ke pelataran ruang sakral tempat pelaksanaan upacara-upacara adat atau disebut juga dengan natara. Di dalam area natara terdapat elemen-elemen sakral yang membentuk satu garis atau poros linier sakral dari sisi utara ke selatan dengan urutan sebagai berikut yaitu; 1) Uma kabubu, 2) Katoda, 3) Watu dodo, dan 4) Adong.
Gambar 6: Poros linier sakral di Natara (Sumber: Kusuma, 2017, Hal. 151) |
Posting Komentar